1. Menurut Kelas Keawetan
Balai penyelidikan Kehotanan Bogor telah mengklasifikasi kayu di Indonesia dalam 5 kelas keawetyan berdasarkan kriteria:
* Pengaruh kelembaban/kayu diletakkan di tempat yang lembab
* Pengaruh iklim dan panas matahari tetapi terlindung terhadap pengartuh air
* Pengaruh iklim, tetapi terlindung terhadap panas matahari
* Terlindungi dan terawat baik
* Pengaruh rayap dan serangga lainnya.
Klasifikasi Kayu berdasar kel;as keawetan dan kekuatan:
Kelas 1 dan 2, Untuk bangunan-bangunan heavyduty , yang selalu
berhubungan dengan tanah yang lembab, angin atau panas matahari. Kayu
yang termasuk jenis ini antara lain: Jati, Merbau, bangkirai (Meranti
Telur)
Kelas 3: Untuk bangunan dan perabot dalam naungan atap yang tidak
berhubungan dengan tanah dan lembab. Antara lain :Kamfer, Keruing.
Kelas 4: Untuk bangunan dan perabot ringan dalam naungan atap. Misal:Meranti, Suren (Surian)
Kelas 5: Untu8k pekerjaan sementara / non permanent, seperti untuk papan bekisting, perancah ataupun peti.
Kayu Jati,
Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, jenis
kayu Jati telah menjadi primadona dalam penggunaan kayu. Warna kayu ini
adalah coklat muda / kekuningan. Bila telah lama dapat berubah menjadi
lebih cokelat.
Termasuk dalam kelas kekuatan I. Kelas keawetan I dan kelas pemakaian I.
Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap dan lembab. Kayu teras
jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua.
Kayu jati sangat bagus bila diekspos texturnya hingga disukai untuk
membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki
permukaan yang licin dan agak mengkilat. Pola-pola lingkaran tahun pada
kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan texture yang indah.
Karena keistimewaan tersebut seperti kehalusan tekstur dan keindahan
warna kayunya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu,
jati banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan,
panel, dan anak tangga yang berkelas.
Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet,
serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan
itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan
rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada
abad ke-19 konon meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini
karena kayu jati sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan
menyita tenaga mereka. Navigasi maritim Inggris bahkan merekomendasikan
untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena
dapat merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.
Pada abad ke-17, tercatat masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan akar
jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk
barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh
daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang
Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang
Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa
itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu
dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.
Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di
Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih
halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di
negeri ini. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati
jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan
diburu oleh para kolektor di luar negeri.
Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati (Mahfudz dkk., t.t.):
1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat,
terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo,
minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala.
5. Jati kembang.
6. Jati kapur, serat kayunya berwarna keputih-putihan karena
mengandung banyak kapur. Bersifat agak getas, kurang kuat dan kurang
awet.
Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel
kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa
divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.
Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut,
termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga
dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.
Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture, kayu
jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional
Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir
semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding
berukir.
Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk
melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket
(parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam
bentuk furniture outdoor.
Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel,
dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas
yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.
Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.
Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu
Hutan Jati memiliki populasi terbanyak di Pulau Jawa, sehingga memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.
Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak jaman Kerajaan Majapahit. Jati
terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan
masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu
jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu
tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan
kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di
pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti
Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan
paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh
petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda)
bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau†ini hingga
berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa â€â€tepatnya
di Jepara pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati
melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap
perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan
rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.
Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih
modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan
Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan
hutan jati yang luas.
VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati
kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong,
para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di
sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban
pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja
paksa.
VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan
Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi
pusat-pusat industri kapal kelas dunia.
Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang
tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya
setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal
di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam
dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.
Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat
menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai
800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000
m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.
Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena
kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun
demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari
penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan
jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan
Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati,
terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).
Manfaat yang lain
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus,
termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa
lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah
Jamblang, Cirebon.
Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa
Timur sebagai pembungkus tempe.
Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan
makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang
kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat
jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini
dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu
bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk
kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan
dimakan.
Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa Jika berkunjung ke hutan-hutan
jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki
fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.
Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan
kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang
lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai
pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan
bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.
Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan
jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati
sendiri, mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu,
sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.
Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah gadung
(Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa
hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat
paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina
longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu
lawak (Curcuma longa) tumbuh di kawasan hutan ini.
Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah
tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik
terjadi di sekitar tengah hati â€â€setiap bunga hidup hanya
sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga,
tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga
sering dapat memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.
Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti
kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan
rumput-rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah
mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak
memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak. Dengan
melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan
beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh
keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan lainnya.
Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa
Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan
sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok
memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan
jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan
wisata, dan cagar alam.
Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang
memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi
non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:
• Fungsi penyangga ekosistem Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan
menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang
berlebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan proses fotosintesis yang
menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan
uap air ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam
dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini
karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam.
Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga
memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau)
pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah,
yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi
permukaan tanah hutan. Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan
humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang
dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan
dan mengurai serasah menjadi humus tanah. Serasah pun membantu meredam
entakan air hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh air.
• Fungsi biologis Jika hutan jati berbentuk hutan murni
â€â€sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati erosi
tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari
sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati
juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan
demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan
tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa
oleh aliran air dan tiupan angin.
Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih
beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia
speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata),
katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), kepuh
(Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex
pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli
(Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro
(Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai
tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.
Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum
1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati
dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih
dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan.
Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka
karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga
jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun
dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia
villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih
sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan
lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama
burung â€â€satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu
lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan
sumberdaya untuk masa depan.
• Fungsi sosial Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang
dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan
layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam,
tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.
Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung
di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari
pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di
atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.
Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang
loko “Bahagiaâ€Â. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum
Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di
seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit
jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung
boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola
kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama
pengunjung bersangkutan.
Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, ada dua genus
Tectona lain ,yaitu:
* Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati
endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
* Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati
endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.
Dalam perdagangan, sering terjadi kerancuan penamaan kayu sehingga ada
jenis kayu yang bukan termasuk keluarga Jati tetapi memiliki nama jati,
seperti:
* Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
* Jati putih (Gmelina arborea)
* Jati pasir (Guettarda speciosa)
Artikel hutan jati.
Bahan Referensi
* Awang, S.A. dkk., 2002, Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Jogyakarta.
* Mahfudz dkk., t.t., Sekilas Jati. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
* Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
* Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory
of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
* Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah
Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai
d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih
Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama.
* Nandika, Dodi. 2005. Hutan bagi Ketahanan Nasional. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
* Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi.
Jakarta: Sinar Grafika.
* Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
* Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak
Marketing and Tradeâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.).
Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia.
July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum
Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de
quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude
àla multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
* Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di
Indonesiaâ€Â. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan
Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
* Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum
Perhutaniâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the
Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August
4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest
Management in Java, Indonesiaâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.).
Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM,
Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and
Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java,
Indonesiaâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the
Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August
4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation
Teakwood in Indiaâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding
of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31-
August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan
TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Sudarminto.,1978, Rumus-rumus dan Daftar-daftar Untuk Konstruksi Kayu.
* Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural
Areas of Gunung Kidul, Yogyakartaâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B.
(peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta,
Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM,
Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
* Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak
Silviculture in Indonesiaâ€Â. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.).
Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia.
July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum
Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.